Jumat, 14 Mei 2010

OPTIMALISASI KOMODITAS PERIKANAN BERBASIS MINAPOLITAN SEBAGAI PENGGERAK EKONOMI BANGSA

Oleh : Ahmad Zaki Rahman (H34090142)
Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama
Bogor Agricultural University-http://www.ipb.ac.id

Kondisi Perikanan Indonesia Kini
Sumber daya perikanan merupakan salah satu sumber daya yang sangat penting bagi hajat hidup masyarakat dan dapat dijadikan sebagai penggerak utama ( prime mover) perekonomian nasional saat ini. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa pertama, Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas. Kedua, industri di sektor perikanan memiliki keterkaitan ( backward and forward linkage) yang kuat dengan industri-industri lainnya . Ketiga, industri perikanan berbasis sumberdaya lokal atau dikenal dengan istilah resources-based industries dan keempat, Indonesia memiliki keunggulan (comparative advantage ) yang tinggi di sektor perikanan sebagaimana dicerminkan dari potensi sumber daya ikannya. Dengan potensi tersebut sumber daya perikanan sesungguhnya memiliki keunggulan komparatif untuk menjadi sektor unggulan.
Walaupun sektor perikanan memiliki peran yang penting dan potensi sebagai prime mover ekonomi nasional, akan tetapi sampai saat ini peran dan potensi tersebut masih terabaikan dan belum teroptimalkan dengan baik. Keunggulan komparatif yang bangsa Indonesia miliki belum mampu untuk bangsa Indonesia transformasikan menjadi keunggulan kompetitif. Hal tersebut mengakibatkan rendahnya kinerja sektor ekonomi berbasis perikanan serta munculnya berbagai permasalahan yang membutuhkan sebuah penanganan yang cepat dan tepat. Beberapa permasalahan klasik yang sering dihadapi oleh bangsa ini seperti biaya produksi yang masih tinggi, lemahnya permodalan, lemahnya kemampuan pembudidayaan ikan, baik benih, pakan, penyakit, pengelolaan lingkungan budidaya dan penanganan pasca panen. Selain itu dengan semakin terbukanya pasar pada masing-masing negara menjadi tantangan bagi pembangunan perikanan nasional. Bila permasalahan-permasalahan tersebut tidak ditanggulangi, maka bukan tidak mungkin dapat menghambat peningkatan daya saing sektor perikanan di masa yang akan datang.
Daya Saing Perikanan dan Pendekatan Klaster
Harapan mengembangkan, memajukan, dan memprofesionalitaskan perikan Indonesia masih ada. Pada tanggal 28 September 2009, Profesor Michael E. Porter memberikan pencerahan kepada Presiden SBY di Harvard Business School Amerika Serikat dengan topik bagaimana meningkatkan daya saing Indonesia di dunia internasional. Menurut Porter, salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia adalah masih rendahnya tingkat pembangunan berbasiskan klaster (low level of cluster development).
Menteri Kelautan dan Perikanan, Dr. Fadel Muhammad, begitu dilantik langsung memilih secara tepat strategi Minapolitan, yang sebenarnya merupakan implementasi konsep klaster ala Poter tersebut, untuk meningkatkan daya saing sektor perikanan dan kelautan.
Perkembangan dunia yang terjadi belakangan ini mengarah kepada era globalisasi dan perdagangan bebas. Hal ini menyebabkan perubahan yang cepat dan memberikan pengaruh luas dalam perekonomian nasional maupun internasional yang berdampak pada u memiliki daya saing yang tinggi. Daya saing dapat didefinisikan sebagai tingkat kemampuan suatu negara dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik maupun internasional.
Strategi peningkatan sektor perikanan yang dipandang relatif tepat untuk meningkatkan daya saing adalah melalui pendekatan klaster. Di beberapa negara, industri yang berbasis klaster telah terbukti mampu menunjukkan kemampuannya secara berkesinambungan dalam menembus pasar. Strategi klaster menawarkan upaya pembangunan ekonomi yang lebih efektif dan komprehensif. Strategi ini memerlukan kepeloporan dan kerjasama yang erat antara berbagai stakeholders yang terkait dengan sektor perikanan.
Pendekatan klaster dalam pengembangan sumberdaya perikanan (selanjutnya disebut klaster minapolitan) dapat diartikan sebagai efisiensi dan efektifitas dengan menurunkan komponen biaya dari hulu sampai hilir dalam produksi suatu komoditi. Bentuk pemusatan yang dilakukan adalah dimana dalam suatu kawasan tersedia subsistem-subsistem dalam agribisnis perikanan dari a transportasi antar subsistem yang terfokus pada komoditas perikanan tersebut. Efisiensi dan efektifitas yang diciptakan, dengan sendirinya akan mampu meningkatkan daya saing produk perikanan baik pada skala domestik maupun internasional.
Keberhasilan Pendekatan Minapolitan
Dalam mengembangkan klaster perikanan (minapolitan), berbagai aspek baik dari subsistem hulu, subsistem hilir maupun jasa n berbagai kegiatan yang saling mendukung antara satu pelaku dengan pelaku yang lain. Oleh karena itu untuk mencapai tingkat keberhasilan, beberapa faktor kunci yang harus diperhatikan dalam klaster minapolitan antara lain pertama, tercipta kemitraan dan jaringan (networking ) yang baik. Tercipta kemitraan dan jaringan yang ditandai adanya kerjasama antar perusahaan merupakan hal yang sangat penting karena tidak hanya untuk memperoleh sumber daya, namun juga dalam hal fleksibilitas, dan proses s pembelajaran bersama, misalnya dalam transfer dan penyebaran teknologi yang dapat meningkatkan keahlian pelaku perusahaan yang ada dalam klaster. Kedua, adanya inovasi, riset dan pengembangan. Inovasi secara umum berkenaan dengan pengembangan produk atau proses, sedangkan riset dan pengembangan berkenaan dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
Ketiga, tersedianya sumber daya manusia (tenaga kerja) yang handal. Produktivitas SDM merupakan salah suatu indikator keberhasilan dari sebuah klaster. Dengan SDM yang handal dan memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, maka keberadaan kapital maupun kelembagaan dapat dijalankan dengan baik. Ilustrasi tentang pentingnya peran SDM dan kewirausahaan dapat diwakili oleh negara Singapura dan Jepang. Negara ini mengalami keterbatasan SDA dibandingkan Indonesia namun memiliki SDM yang a maju.
an lokasi merupakan keputusan yang didasarkan pada perpaduan dari berbagai faktor yang mempengaruhi seperti ketersediaan sumberdaya (input), biaya transportasi, harga faktor lokal, kemungkinan produksi dan substitusi, struktur pasar, kompetisi dan informasi.
Implikasi Kebijakan
Pendekatan klaster minapolitan merupakan suatu strategi yang dapat digunakan dalam meningkatkan daya saing sumber daya perikanan. Untuk mendukung strategi tersebut beberapa hal yang harus diupayakan antara lain pertama, terpenuhinya kebutuhan dasar sebuah klaster seperti terciptanya stabilitas ekonomi makro yang mantap, iklim investasi yang kondusif, dan terjaminnya penyelenggaraan hukum yang efisien dan dapat dipercaya. Kedua, peningkatan kompetensi SDM dari masing-masing pelaku dalam klaster hendaknya dilakukan dengan cara pengembangan keterampilan dan kecakapan baik melalui pelatihan maupun kegiatan produktif lainnya. Ketiga, mengembangkan berbagai kelembagaan pendukung terutama kelembagaan pembiayaan, penelitian, penyuluhan, dan pendidikan. Adanya kelembagaan tersebut akan mampu meningkatkan akses pelaku terhadap informasi terkait dengan permodalan, teknologi dan inovasi yang sangat diperlukan untuk meningkatkan kinerja klaster. Keempat, diperlukan ut baik, niscaya klaster minapolitan dapat berkembang dengan baik dan dengan sendirinya daya saing sumber daya perikanan dapat meningkat baik itu di dalam negeri maupun internasional.

Peluang di daerah

Malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih. Begitulah potret nasib kaum nelayan dari dulu hingga sekarang. Setiap hari mereka mencari dan menangkap ikan terkadang mempertaruhkan nyawa di tengah lautan ganas. Kendati begitu, justru kesengsaraan dan kemiskinanlah yang senantiasa menghampiri mereka. Penghasilan minim, ongkos operasional tinggi, harga ikan murah, dan sulitnya modal; itulah kondisi yang terus menghantui para nelayan.

Dan, kondisi itulah yang termaktub di dalam "Pedoman Umum Minapolitan Perikanan Tangkap (PUMPT)" yang disusun Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional KKP, Februari lalu.

Di negeri ini, tingkat pendapatan dan kesejahteraan nelayan masih rendah. Penyebabnya antara lain masih rendahnya produktivitas dan efisiensi usaha, tingginya biaya produksi, kurangnya keterampilan nelayan, dan manajemen usaha. Selain itu, masalah lain yang turut membuat sengkarut adalah rendahnya sumber daya nelayan, sulitnya akses permodalan, prasarana teknologi dan pemasaran, serta faktor sosial budaya yang kurang kondusif bagi kemajuan usahanya.

Kondisi nelayan itu makin sulit karena belum optimalnya integrasi perikanan tangkap di daerah pengembangan wilayah. Hal itu disebabkan, antara lain oleh persepsi otonomi daerah yang belum sinergis, belum optimalnya dukungan lintas sektor terhadap pengembangan sarana dan prasarana serta kurangnya aksesbilitas pembangunan fisik.

Keterpurukan inilah yang sepertinya menggugah Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad. Berlatar dari kenyataan itu, kementerian yang dipimpin Fadel coba meretas program Minapolitan Perikanan Tangkap (MPT), dan Palabuhan Ratu didaulat sebagai daerah yang pertama kali melakukan hal itu.

"Visi Pak menteri dalam minapolitan ini menjadikan Indonesia sebagai produsen ikan tahun 2015. Sementara misinya hanya satu, menyejahterakan masyarakat perikanan dan kelautan," kata Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu (PPNP) Ir. Arief Rahman Lamatta, M.M.

Minapolitan alias "kota perikanan" merupakan kawasan terpilih untuk dijadikan kawasan bisnis sentra produksi perikanan tangkap. Pemerintah bersama para pemangku kepentingan dituntut menciptakan iklim usaha lebih baik. Dengan begitu diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi wilayah, lapangan kerja, serta pendapatan masyarakat di kawasan tersebut. Upaya itu dilakukan melalui penataan pusat pelayanan bisnis perikanan tangkap yang berfungsi melayani dan mendorong pengembangan kawasan perikanan, termasuk daerah sebangsa Indonesiarnya.

"Jadi minapolitan berbicara secara komprehensif satu kawasan. Tak hanya Palabuhan Ratu, tetapi mencakup sejumlah daerah di sebangsa Indonesiarnya yang juga terdapat aktivitas usaha perikanan tangkap. Kawasan Palabuhan Ratu dalam konsep minapolitan mencakup empat wilayah kecamatan, yakni Cisolok, Pelabuhan Ratu, Simpenan, dan Ciemas," ucap Kepala Bidang Perikanan Budidaya pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi Ir. Yodi Rahmat Gunadi.

Menurut Arief, satu daerah yang akan dijadikan kawasan minapolitan haruslah memenuhi beberapa faktor, seperti sumber daya ikan yang potensial, aksesibilitas pasar domestik dan ekspor, serta ketersediaan unit pengolahan ikan, cold storage, dan pasar ikan. Palabuhan Ratu memiliki itu semua.

Hingga saat ini, ketersediaan sumber daya ikan di kawasan Pelabuhan Ratu dinilai masih cukup potensial. Berdasarkan data produksi ikan di PPNP periode 1993-2008, produksi dan nilai produksi ikan yang didaratkan di pelabuhan dari hasil tangkapan para nelayan mengalami peningkatan. Pada tahun 1993, ikan yang berhasil didaratkan mencapai 3.118,79 ton (senilai Rp 3,57 miliar) sedangkan pada 2008 meningkat menjadi 4.580,68 ton (senilai Rp 42, 56 miliar).

Kendati dari produksi peningkatannya tidak terlalu besar, tetapi dari sisi nilai produksi peningkatannya cukup signifikan. Artinya, terjadi peningkatan nilai dan harga ikan sebagai pengaruh peralihan metode penangkapannya. "Bahkan, Palabuhan Ratu memiliki produk ikan unggulan komoditas ekspor, seperti ikan tuna dan layur. Begitu pula produk olahannya, yakni pemindangan ikan di Kec. Bantargadung serta abon ikan di Cisolok dan Pelabuhan Ratu yang masih satu kawasan," ujar Arief.

Produk ikan tuna dan layur dari Pelabuhan Ratu mampu menembus pasar ekspor kualitas A (tinggi), seperti Jepang, sejumlah negara di Afrika, Arab Saudi, serta sejumlah negara di Uni Eropa. Sebagai produsen ikan tuna, keberadaan Pelabuhan Ratu cukup diperhitungkan di lembaga internasional. Pelabuhan Ratu masuk ke dalam keanggotaan lembaga IOTC (Indian Ocean Tuna Commission/Organisasi Internasional Penghasil Ikan Tuna di Samudra Hindia). Lembaga tersebut berada di bawah FAO (Food and Agriculture Organization). "Harga ikan tuna semakin hari semakin menggiurkan. Dari asalnya Rp 25.000-Rp 28.000 per kilogram, kini naik menjadi Rp 30.000 per kilogram. Kualitas tuna asal Pelabuhan Ratu paling bagus sehingga bisa digunakan untuk sushimi, menu ikan yang dimakan mentah-mentah," katanya.

Program Minapolitan di Pelabuhan Ratu akan dilaksanakan melalui konsep kerja sama usaha inti-plasma. Dalam pengelolaannya, akan dibentuk sebuah jaringan usaha antara industri perikanan dengan beberapa unit usaha yang dijalankan nelayan dan masyarakat pesisir. Dengan demikian, semua kegiatan usaha perikanan dari hulu sampai hilir akan terintegrasi dalam satu manajemen usaha.

Nantinya, semua itu berada di bawah pengelolaan Pemkab Sukabumi. Usaha intinya akan dikelola langsung oleh PPNP dengan membawahkan sejumlah unit bisnis perikanan skala industri. Sementara usaha plasma dikerjakan oleh beberapa unit usaha yang dilakukan kelompok masyarakat nelayan dan pesisir. "Manajemen puncaknya ada di tangan Pemkab Sukabumi, dalam hal ini Pak bupati," tutur Arief.

Dalam praktiknya, unit-unit bisnis yang dibentuk PPNP harus menyediakan berbagai kebutuhan usaha plasma. Contohnya di bidang usaha penangkapan ikan, perusahaan inti harus menyediakan kapal, alat tangkap, hingga fasilitas SPBB (Stasiun Pengisian Bahan Bakar). Sarana dan prasarana itu untuk mendukung usaha plasmanya, mulai dari usaha penangkapan ikan, pengolahan, budi daya perikanan, hingga pemasarannya.

Tumbuhnya bisnis inti diharapkan akan mendorong berkembangnya aktivitas usaha pendukungnya, seperti industri docking (galangan kapal), perbengkelan, bahan serta alat penangkapan ikan, angkutan, bahan pengemasan dan packing, perbankan, dan sebagainya. Bisa terbayang kan jika program Minapolitan berjalan baik?

Hanya, hingga kini, sejumlah kendala masih menghadang, terutama terkait dengan belum memadainya infrastruktur jalan. Selain jarak tempuh yang jauh, kondisi jalan yang berkelok-kelok akan memperlambat pengiriman barang dan merusak kualitas ikan. Padahal, pasar senantiasa menuntut kondisi ikan yang segar. "Oleh karena itu, dalam menjalankan program Minapolitan, perlu ada sinergitas lintas sektor dinas instansi terkait. Minapolitan ini harus dikerjakan secara keroyokan atau kerubutan.




Daftar Pustaka

Daryanto,Arif.Pembangunan Sektor Perikanan Berbasiskan Klaster. http://www.mb.ipb.ac.id/artikel /view /id / bf43fac909a01012c2451c28ddc44ef6.html. [ Diakses tanggal 13Mei 2010].

Nugroho.Thomas.2010.Rekonstruksi Kebijakan Kelautan. http:/ / web.ipb.ac.id / ~psp // ?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=628. [ Diakses tanggal 14 Mei 2010].

Satria ,Arif 2010.Minapolitan dan Minapolitik. http://fema.ipb.ac.id/index.php/ minapolitan-dan-minapolitik [ Diakses tanggal 14 Mei 2010].

[ Anonim].2010.Prospek Pendidikan Maritim di Indonesia. http: // www.perikanantangkap.ipb.ac.id / index.php ?pilih = news&mod=yes&aksi=lihat&id=383. [ Diakses tanggal 13 Mei 2010].

[ Anonim].2010.DKP Gandeng Peneliti IPB Gagas Program Nasional Minapolitan .http://www.ipb.ac.id/?b=1528. [ Diakses tanggal 15 Mei 2010].

Kamis, 13 Mei 2010

Kaitan Pembangunan Pertanian melalui Agribisnis dengan Ketahanan Pangan Indonesi

Oleh:Ahmad Zaki Rahman (H34090142)

Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama

Bogor Agricultural University - http://www.ipb.ac.id



Upaya peningkatan pembangunan pertanian diharapkan akan memberikan peran yang besar bagi pemeliharaan ketahanan pangan dan ekonomi nasional. Namun di sisi lain, sampai saat ini, di Indonesia, banyak kalangan praktis dan birokrat kurang memahami pengertian swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Sehingga konsep ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan peningkatan produksi ataupun penyediaan pangan yang cukup.

http://www.mb.ipb.ac.id/news/view/id/e3df15b984abbe51b0c6a77e920867ff.html

Pada level nasional, pengertian ketahanan pangan telah menjadi perdebatan selama tahun 1970 sampai tahun 1980-an. Ketahanan pangan nasional tidak mensyaratkan untuk melakukan swasembada produksi pangan karena tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Suatu negara bisa menghasilkan dan mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan barang-barang industri, kemudian membeli komoditas pangan di pasar internasional. Sebaliknya, negara yang melakukan swasembada produksi pangan pada level nasional, namun dijumpai masyarakatnya yang rawan pangan karena ada hambatan akses dan distribusi pangan (Stevens et al, 2000).

Keterbatasan konsep tentangswasembada pangan ini, dapatdicontohkanyaknidi Afrika pada pertengahan tahun 1980 dimana fokus peningkatan produksi untuk mencapai swasembada justru menimbulkan adanya krisis pangan pada masyarakat. Sehingga jelas bahwa ketersediaan pangan pada level nasional tidak secara otomatis menjamin ketahanan pangan pada level individu dan rumah tangga (Borton danShoham, 1991).

Stevens et al (2000, dalam Lassa, 2006) memberikan ilustrasi yang membedakan secara tegas antara swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Sebagai misal, Bostwanasebagai Negara dengan pendapatan perkapita sedang tapi mengalami defisit pangan yang kronis karena minimnya lahan pertanian. Strategi ketahanan pangan nasionalnya adalah swasembada tetapi akhirnya lebih berorientasi pada self-reliance, yang mana secara formal mengesahkan kontribusi yang hakiki dari pangan import terhadap ketahanan pangan nasional.

Thompson dan Cowan (2000, dalam Lassa, 2006) mencatat perubahan kebijakan dan pendefinisian formal ketahanan pangan dalam kaitannya dengan globalisasi perdangan yang terjadi di beberapa Negara. Contohnya, Malaysia mendefinisikan ulang ketahahanan pangannya sebagai swasembada 60% pangan nasional. Sisanya, 40% didapatkan dari import pangan. Malaysia kini memiliki tingkat ketahanan pangan yang kokoh.

Hal ini memberikan ilustrasi yang jelas bahwa ketahanan pangan dan swasembada adalah dua hal yang berbeda. Amartya Sen berhasil menggugat kesalahan paradigma kaum Maltusian yang kerap berargumentasi bahwa ketidak-ketahanan pangan dan kelaparan adalah soal produksi dan ketersediaan semata. Sedangkan dengan mengangkat berbagai kasus di India dan Afrika, Sen mampu menunjukan bahwa ketidaktahanan pangan dan kelaparan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas pangan bahkan ketika produksi pangan berlimpah, ibarat “tikus mati di lumbung padi”. Kasus gizi buruk di Nusa Tenggara Barat adalah salah satu bukti (Lassa, 2006).

http://www.mb.ipb.ac.id/artikel/view/id/19e77c2574e545dc60bafe9a8cf81a52.html

Oleh karena itu, peneliti dan akademisi kini menyadari bahwa kerawanan pangan terjadi dimana situasi pangan tersedia tetapi tidak mampu diakses rumah tangga karena keterbatasan sumberdaya ekonomi yang dimiliki (pendapatan, kesempatan kerja, sumberdaya ekonomi lainnya). Hal ini konsisten dengan pendapat Sen (1981) bahwa produksi pangan bukan determinan tunggal ketahanan pangan, melainkan hanyalah salah satu faktor penentu.Berikut adalah perbedaan swasembada pangan dengan ketahanan pangan, yang disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan

Indikator

Swasembada Pangan

Ketahanan Pangan

Lingkup

Nasional

Rumah tangga dan individu

Sasaran

Komoditas pangan

Manusia

Strategi

Substitusi impor

Peningkatan ketersediaan pangan, akses pangan, dan penyerapan pangan

Output

Peningkatan produksi pangan

Status gizi (penurunan : kelaparan, gizi kurang dan gizi buruk)

Outcome

Kecukupan pangan oleh

produk domestik

Manusia sehat dan produktif (angka harapan hidup tinggi)

Swasembada pangan umumnya merupakan capaian peningkatan ketersediaan pangan dengan wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan lebih mengutamakan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan produktif.

Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional tidak terlepas dari kebijakan umum pembangunan pertanian dalam mendukung penyediaan pangan terutama dari produksi domestik. Dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan dan stabilitasnya (penyediaan dari produksi domestik) identik pula dengan upaya meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional dalam pembangunan pertanian beserta kebijakan pendukung lain yang terkait.

http://www.ipb.ac.id/id/?b=1545

Sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif meliputi empat subsistem, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan merata, (iii) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang berdampak pada (iv) status gizi masyarakat. Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin. Meskipun secara konseptual pengertian ketahanan pangan meliputi aspek mikro, namun dalam pelaksanaan sehari-hari masih sering ditekankan pada aspek makro yaitu ketersediaan pangan. Agar aspek mikro tidak terabaikan, maka dalam dokumen ini digunakan istilah ketahanan pangan dan gizi.

Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan pangan dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Seperti banyak diketahui, baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahanan pangan yang luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu tingkat kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sasaran pertama Millenium Development Goals (MGDs) bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi menurunkan kemiskinan dan kelaparan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. MDGs menggunakan pendekatan dampak bukan masukan.

United Nation Development Programme (UNDP) sebagai lembaga PBB yang berkompeten memantau pelaksanaan MDGs telah menetapkan dua ukuran kelaparan, yaitu jumlah konsumsi energi (kalori) rata-rata anggota rumah tangga di bawah kebutuhan hidup sehat dan proporsi anak balita yang menderita gizi kurang. Ukuran tersebut menunjukkan bahwa MDGs lebih menekankan dampak daripada masukan. Oleh karena itu, analisis situasi ketahanan pangan harus dimulai dari evaluasi status gizi masyarakat diikuti dengan tingkat konsumsi, persediaan dan produksi pangan; bukan sebaliknya. Status gizi masyarakat yang baik ditunjukkan oleh keadaan tidak adanya masyarakat yang menderita kelaparan dan gizi kurang. Keadaan ini secara tidak langsung menggambarkan akses pangan dan pelayanan sosial yang merata dan cukup baik. Sebaliknya, produksi dan persediaan pangan yang melebihi kebutuhannya, tidak menjamin masyarakat terbebas dari kelaparan dan gizi kurang.

katalog.perpustakaan.ipb.ac.id/.../Euis_Sunarti_perumusan_ukuran_ketahanan.pdf

Tujuan dari ketahanan pangan harus diorentasikan untuk pencapaian pemenuhan hak atas pangan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan ketahanan pangan nasional. Berjalannya sistem ketahanan pangan tersebut sangat tergantung pada dari adanya kebijakan dan kinerja sektor ekonomi, sosial dan politik. Kebijakan pemerintah dalam aspek ekonomi, sosial maupun politik jugasangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan.

Setelah mengetahui tentang definisi dan juga subsistem ketahananpangan, maka dapat dilakukan analisis bahwa agribisnis memang dapat dijadikan sebagai cara ataupun solusi dalam mendukung maupun meningkatkan ketahananpangan Indonesia, karena agribisnis yang merupakan sebuah sistem dapat kemudian diintegrasikan serta diaplikasikan untuk mendukung berbagai subsistem ketahananpangan, sehingga diharapkan tujuan dari ketahananpangan akan tercapai. Hal ini sesuai dengan teori bahwa fokus dari sistem agribisnis adalah adanya keberlanjutan (sustainable).Sedangkan subsistem ketahananpangan berfokus pada stabilitas (stability).

Subsistem Ketersediaan pangan (food availability)pada ketahananpangan dapat dintegrasikan dengan subsistem usahatani (On-farm) pada sistem agribisnis. Para pelaku budidaya seperti petani dan lainnya dapat mengusahakan atau melakukan budidaya berbagai macam tanaman pangan, tidak hanya padi, namun juga tanaman lainnya yang bias dijadikan sebagai alternatif diversifikasi pangan, seperti jagung, dan lainnya, sehingga ketersediaan pangan dalam negeri akan benar-benar tercapai dan tidak hanya bertumpu pada satu komoditas pangan saja.

iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/11532/2/I09ehe.pdf

Subsistem penyerapan pangan (food utilization)dapat diintegrasikan dengan subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), tepatnya pada kegiatan pengolahan produk pertanian primer menjadi produk olahan, baik produk antara maupun produk akhir.Industri pengolahan produk harus mengutamakan keamanan pangan, kemudian dengan adanya pengolahan tersebut diharapkan menghasilkan produk siap konsumsi yang mempunyai nilai tambah ,seperti kandungan gizi.Sehingga penyerapan pangan terhadap gizi dan lainnya oleh konsumen dapat terealisasikan.

Kemudian subsistem akses pangan (food access) dapat diintegrasikan juga dengan subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness).Lebih tepatnya adalah dengan adanya kegiatan distribusi atau kegiatan perdagangan di pasar domestik maupun di pasar internasional.Sehingga dengan adanya kegiatan distribusi ini, konsumen dapat mengakses produk-produk yang dibutuhkan untuk dikonsumsi.

Ketiga hal hasil analisis yang telah dijelaskan di atas, dapat dibuat sebuah ilustrasi yang menggambarkan atau menunjukkan bahwa sistem agribisnis dapat dintegrasikan dengan berbagai subsistem ketahanan pangan, sehingga diharapkan dapat mewujudkan dan meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. Berikut merupakan hasil refleksi dari penjelasan di atas:



DAFTAR PUSTAKA

Herdiana, Eka. 2009. Analisis jalur Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/ 123456789/11532/2/ i09ehe.pdf[Diakses tanggal 13 Mei 2010].

Kania, Nurhifen, 2010. Konsep Food Estate : Tak Cukup Cuma Regulasi Dan Infrastruktur Fisik. http://www.mb.ipb.ac.id/artikel/view/id/19e77c2574e545dc60bafe9a8cf81a52.html [Diakses tanggal 13 Mei 2010].

Saragih, Bungaran. 2010. Refleksi kritis Pengembangan Dan Kontribusi Pemikiran Agribisnis Terhadap Pembangunan Pertanian Indonesia. http://www.ipb.ac.id/id/?b=1545[Diakses tanggal 13 Mei 2010].

Saragih, Bungaran. 2008.Ceo Forum : Kebijakan Pengembangan Agribisnis Indonesia.

http://www.mb.ipb.ac.id/news/view/id/e3df15b984abbe51b0c6a77e920867ff.html [Diakses tanggal 13 Mei 2010].

Sunarti,Euis dkk. 2003. Perumusan Ukuran Ketahanan Pangan Keluarga. Di dalam: Jurnal Media Gizi dan Keluarga. http://katalog.perpustakaan.ipb.ac.id/jurnale/files/Euis _Sunarti_perumusan_ ukuran_ketahanan.pdf[Diakses tanggal 13 Mei 2010].