Kamis, 13 Mei 2010

Kaitan Pembangunan Pertanian melalui Agribisnis dengan Ketahanan Pangan Indonesi

Oleh:Ahmad Zaki Rahman (H34090142)

Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama

Bogor Agricultural University - http://www.ipb.ac.id



Upaya peningkatan pembangunan pertanian diharapkan akan memberikan peran yang besar bagi pemeliharaan ketahanan pangan dan ekonomi nasional. Namun di sisi lain, sampai saat ini, di Indonesia, banyak kalangan praktis dan birokrat kurang memahami pengertian swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Sehingga konsep ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan peningkatan produksi ataupun penyediaan pangan yang cukup.

http://www.mb.ipb.ac.id/news/view/id/e3df15b984abbe51b0c6a77e920867ff.html

Pada level nasional, pengertian ketahanan pangan telah menjadi perdebatan selama tahun 1970 sampai tahun 1980-an. Ketahanan pangan nasional tidak mensyaratkan untuk melakukan swasembada produksi pangan karena tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Suatu negara bisa menghasilkan dan mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan barang-barang industri, kemudian membeli komoditas pangan di pasar internasional. Sebaliknya, negara yang melakukan swasembada produksi pangan pada level nasional, namun dijumpai masyarakatnya yang rawan pangan karena ada hambatan akses dan distribusi pangan (Stevens et al, 2000).

Keterbatasan konsep tentangswasembada pangan ini, dapatdicontohkanyaknidi Afrika pada pertengahan tahun 1980 dimana fokus peningkatan produksi untuk mencapai swasembada justru menimbulkan adanya krisis pangan pada masyarakat. Sehingga jelas bahwa ketersediaan pangan pada level nasional tidak secara otomatis menjamin ketahanan pangan pada level individu dan rumah tangga (Borton danShoham, 1991).

Stevens et al (2000, dalam Lassa, 2006) memberikan ilustrasi yang membedakan secara tegas antara swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Sebagai misal, Bostwanasebagai Negara dengan pendapatan perkapita sedang tapi mengalami defisit pangan yang kronis karena minimnya lahan pertanian. Strategi ketahanan pangan nasionalnya adalah swasembada tetapi akhirnya lebih berorientasi pada self-reliance, yang mana secara formal mengesahkan kontribusi yang hakiki dari pangan import terhadap ketahanan pangan nasional.

Thompson dan Cowan (2000, dalam Lassa, 2006) mencatat perubahan kebijakan dan pendefinisian formal ketahanan pangan dalam kaitannya dengan globalisasi perdangan yang terjadi di beberapa Negara. Contohnya, Malaysia mendefinisikan ulang ketahahanan pangannya sebagai swasembada 60% pangan nasional. Sisanya, 40% didapatkan dari import pangan. Malaysia kini memiliki tingkat ketahanan pangan yang kokoh.

Hal ini memberikan ilustrasi yang jelas bahwa ketahanan pangan dan swasembada adalah dua hal yang berbeda. Amartya Sen berhasil menggugat kesalahan paradigma kaum Maltusian yang kerap berargumentasi bahwa ketidak-ketahanan pangan dan kelaparan adalah soal produksi dan ketersediaan semata. Sedangkan dengan mengangkat berbagai kasus di India dan Afrika, Sen mampu menunjukan bahwa ketidaktahanan pangan dan kelaparan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas pangan bahkan ketika produksi pangan berlimpah, ibarat “tikus mati di lumbung padi”. Kasus gizi buruk di Nusa Tenggara Barat adalah salah satu bukti (Lassa, 2006).

http://www.mb.ipb.ac.id/artikel/view/id/19e77c2574e545dc60bafe9a8cf81a52.html

Oleh karena itu, peneliti dan akademisi kini menyadari bahwa kerawanan pangan terjadi dimana situasi pangan tersedia tetapi tidak mampu diakses rumah tangga karena keterbatasan sumberdaya ekonomi yang dimiliki (pendapatan, kesempatan kerja, sumberdaya ekonomi lainnya). Hal ini konsisten dengan pendapat Sen (1981) bahwa produksi pangan bukan determinan tunggal ketahanan pangan, melainkan hanyalah salah satu faktor penentu.Berikut adalah perbedaan swasembada pangan dengan ketahanan pangan, yang disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan

Indikator

Swasembada Pangan

Ketahanan Pangan

Lingkup

Nasional

Rumah tangga dan individu

Sasaran

Komoditas pangan

Manusia

Strategi

Substitusi impor

Peningkatan ketersediaan pangan, akses pangan, dan penyerapan pangan

Output

Peningkatan produksi pangan

Status gizi (penurunan : kelaparan, gizi kurang dan gizi buruk)

Outcome

Kecukupan pangan oleh

produk domestik

Manusia sehat dan produktif (angka harapan hidup tinggi)

Swasembada pangan umumnya merupakan capaian peningkatan ketersediaan pangan dengan wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan lebih mengutamakan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan produktif.

Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional tidak terlepas dari kebijakan umum pembangunan pertanian dalam mendukung penyediaan pangan terutama dari produksi domestik. Dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan dan stabilitasnya (penyediaan dari produksi domestik) identik pula dengan upaya meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional dalam pembangunan pertanian beserta kebijakan pendukung lain yang terkait.

http://www.ipb.ac.id/id/?b=1545

Sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif meliputi empat subsistem, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan merata, (iii) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang berdampak pada (iv) status gizi masyarakat. Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin. Meskipun secara konseptual pengertian ketahanan pangan meliputi aspek mikro, namun dalam pelaksanaan sehari-hari masih sering ditekankan pada aspek makro yaitu ketersediaan pangan. Agar aspek mikro tidak terabaikan, maka dalam dokumen ini digunakan istilah ketahanan pangan dan gizi.

Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan pangan dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Seperti banyak diketahui, baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahanan pangan yang luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu tingkat kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sasaran pertama Millenium Development Goals (MGDs) bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi menurunkan kemiskinan dan kelaparan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. MDGs menggunakan pendekatan dampak bukan masukan.

United Nation Development Programme (UNDP) sebagai lembaga PBB yang berkompeten memantau pelaksanaan MDGs telah menetapkan dua ukuran kelaparan, yaitu jumlah konsumsi energi (kalori) rata-rata anggota rumah tangga di bawah kebutuhan hidup sehat dan proporsi anak balita yang menderita gizi kurang. Ukuran tersebut menunjukkan bahwa MDGs lebih menekankan dampak daripada masukan. Oleh karena itu, analisis situasi ketahanan pangan harus dimulai dari evaluasi status gizi masyarakat diikuti dengan tingkat konsumsi, persediaan dan produksi pangan; bukan sebaliknya. Status gizi masyarakat yang baik ditunjukkan oleh keadaan tidak adanya masyarakat yang menderita kelaparan dan gizi kurang. Keadaan ini secara tidak langsung menggambarkan akses pangan dan pelayanan sosial yang merata dan cukup baik. Sebaliknya, produksi dan persediaan pangan yang melebihi kebutuhannya, tidak menjamin masyarakat terbebas dari kelaparan dan gizi kurang.

katalog.perpustakaan.ipb.ac.id/.../Euis_Sunarti_perumusan_ukuran_ketahanan.pdf

Tujuan dari ketahanan pangan harus diorentasikan untuk pencapaian pemenuhan hak atas pangan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan ketahanan pangan nasional. Berjalannya sistem ketahanan pangan tersebut sangat tergantung pada dari adanya kebijakan dan kinerja sektor ekonomi, sosial dan politik. Kebijakan pemerintah dalam aspek ekonomi, sosial maupun politik jugasangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan.

Setelah mengetahui tentang definisi dan juga subsistem ketahananpangan, maka dapat dilakukan analisis bahwa agribisnis memang dapat dijadikan sebagai cara ataupun solusi dalam mendukung maupun meningkatkan ketahananpangan Indonesia, karena agribisnis yang merupakan sebuah sistem dapat kemudian diintegrasikan serta diaplikasikan untuk mendukung berbagai subsistem ketahananpangan, sehingga diharapkan tujuan dari ketahananpangan akan tercapai. Hal ini sesuai dengan teori bahwa fokus dari sistem agribisnis adalah adanya keberlanjutan (sustainable).Sedangkan subsistem ketahananpangan berfokus pada stabilitas (stability).

Subsistem Ketersediaan pangan (food availability)pada ketahananpangan dapat dintegrasikan dengan subsistem usahatani (On-farm) pada sistem agribisnis. Para pelaku budidaya seperti petani dan lainnya dapat mengusahakan atau melakukan budidaya berbagai macam tanaman pangan, tidak hanya padi, namun juga tanaman lainnya yang bias dijadikan sebagai alternatif diversifikasi pangan, seperti jagung, dan lainnya, sehingga ketersediaan pangan dalam negeri akan benar-benar tercapai dan tidak hanya bertumpu pada satu komoditas pangan saja.

iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/11532/2/I09ehe.pdf

Subsistem penyerapan pangan (food utilization)dapat diintegrasikan dengan subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), tepatnya pada kegiatan pengolahan produk pertanian primer menjadi produk olahan, baik produk antara maupun produk akhir.Industri pengolahan produk harus mengutamakan keamanan pangan, kemudian dengan adanya pengolahan tersebut diharapkan menghasilkan produk siap konsumsi yang mempunyai nilai tambah ,seperti kandungan gizi.Sehingga penyerapan pangan terhadap gizi dan lainnya oleh konsumen dapat terealisasikan.

Kemudian subsistem akses pangan (food access) dapat diintegrasikan juga dengan subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness).Lebih tepatnya adalah dengan adanya kegiatan distribusi atau kegiatan perdagangan di pasar domestik maupun di pasar internasional.Sehingga dengan adanya kegiatan distribusi ini, konsumen dapat mengakses produk-produk yang dibutuhkan untuk dikonsumsi.

Ketiga hal hasil analisis yang telah dijelaskan di atas, dapat dibuat sebuah ilustrasi yang menggambarkan atau menunjukkan bahwa sistem agribisnis dapat dintegrasikan dengan berbagai subsistem ketahanan pangan, sehingga diharapkan dapat mewujudkan dan meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. Berikut merupakan hasil refleksi dari penjelasan di atas:



DAFTAR PUSTAKA

Herdiana, Eka. 2009. Analisis jalur Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/ 123456789/11532/2/ i09ehe.pdf[Diakses tanggal 13 Mei 2010].

Kania, Nurhifen, 2010. Konsep Food Estate : Tak Cukup Cuma Regulasi Dan Infrastruktur Fisik. http://www.mb.ipb.ac.id/artikel/view/id/19e77c2574e545dc60bafe9a8cf81a52.html [Diakses tanggal 13 Mei 2010].

Saragih, Bungaran. 2010. Refleksi kritis Pengembangan Dan Kontribusi Pemikiran Agribisnis Terhadap Pembangunan Pertanian Indonesia. http://www.ipb.ac.id/id/?b=1545[Diakses tanggal 13 Mei 2010].

Saragih, Bungaran. 2008.Ceo Forum : Kebijakan Pengembangan Agribisnis Indonesia.

http://www.mb.ipb.ac.id/news/view/id/e3df15b984abbe51b0c6a77e920867ff.html [Diakses tanggal 13 Mei 2010].

Sunarti,Euis dkk. 2003. Perumusan Ukuran Ketahanan Pangan Keluarga. Di dalam: Jurnal Media Gizi dan Keluarga. http://katalog.perpustakaan.ipb.ac.id/jurnale/files/Euis _Sunarti_perumusan_ ukuran_ketahanan.pdf[Diakses tanggal 13 Mei 2010].

0 komentar:

Posting Komentar